Kebhinekaaan adalah Indonesia, kelemahan atau kekuatan, kita yang menentukannya

Diberdayakan oleh Blogger.

Selasa, 12 Mei 2009

Balada di Tanjung Mutiara


Salah satu yang harus dijaga dari Sumatera Barat selain pendidikan (karena kita dulunya dikatakan sebagai industri otak) adalah sektor pariwisata. Pada hari senin pas acara maulid nabi dulu, saya dan keluarga berkesempatan untuk mencoba 2 buah objek wisata yang berujung dengan sedikit kekecewaan. 2 buah objek wisata kebetulan yang ada hubungannya dengan danau singkarak. Karena Batusangkar adalah kota di gunung tentu saja melihat danau diharapkan bisa memberikan pengalaman yang lebih.

Pertama kami menuju daerah Kacang, katanya ada sebuah objek wisata dengan judul Dermaga Singkarak. Kami berangkat dari Batusangkar, lewat simawang, melalui jalan beraspal yang entah kapan selesainya, penuh dengan kabut dan berlobang. Under construction, begitulah pesan yang muncul. Transportasi untuk pariwisata adalah salah satu faktor yang penting, keberadaan jalan, yang kadang hanya bisa dipakai separuh betul-betul mengganggu transportasi.

Setelah sampai di Ombilin, kami berbelok ke arah kiri untuk menuju Dermaga Singkarak, hari sudah menunjukkan pukul 10, jalan-jalan disebelah kanan dihiasi dengan berbagai macam restoran, namun sayangnya belum satupun yang buka. Sudah buka sih, namun sambalnya ndak ada, yah, inikan dihitung belum buka juga. Akhirnya nemu juga restoran yang sudah buka, beli nasi. Dan melanjutkan perjalan ke Kacang.

Sesampai di dermaga singkarak, sungguh tidak terbayangkan. Awalnya ketemu dengan beberapa pasang anak SMU yang berseragam olah raga, warna kuning dan ada juga yang berwarna biru. Umumnya mereka naik motor ke sini. Hmm... anak muda, sudahkah mereka bisa memikirkan diri mereka sendiri, sehingga sudah berani untuk mulai berpikir belajar untuk mencari pasangan?. Selanjutnya kita mulai menelaah situs ini, waw..... ditepi dermaga singkarak tersebut memamng kondisinya sudah sangat tidak terurus, kedai-kedai yang ada tutup semua, kecuali satu-dua yang buka. Lokasi intinya cuma ada 3 buah payung dari beton untuk duduk-duduk. Yang paling menyedihkan dihadapan kami, rombongan bebek-bebek peliharaan sedang enak bermain air, air danaunya kotor. Menyedihkan sekali..., karena merasa tidak mungkin untuk mengembangkan tikar disini karena baunya yang lumayan, kami bergerak balik sekarang menuju Tanjung Mutiara.

Di tanjung mutiara, dari pintu masuknya, setidaknya ada 3 buah ketiding datang silih berganti ke mobil yang ditumpangi yang intinya meminta sumbangan. lanjuuut... kami sampai di tanjung mutiara, eh jalannya ada 2 pertama kami belok kekiri. Disini sudah menanti bapak petugas dari Nagari (kami disodori karcis Rp. 1.500,- per penumpang yang diatas namakan surat dari Wali Nagari, nebak2 saja sih, soalnya disana tulisannya SK WN). Rasa-rasanya dulu waktu kami ke tanjung mutiara, ada buaian nya loh?, kok sekarang tidak ada ya?... lihat kiri kanan, ternyata arah yang kami tuju ternyata disebelah yang satu lagi. Ujung-ujungnya kami tahu bahwa disini disebut dengan Tanjung Mutiara Selatan, jadi kami bergerak ke bagian yang satu lagi, walaupun sebelumnya ditahan oleh bapak petugas dari Nagari "disini saja lah pak, orang disana mainnnya juga nanti kemari kok..", begitu pesannya. No problema lah pak, kami mau main buaian :D.

Di Tanjung Mutiara yang satu lagi kami juga diminta lagi untuk membayar dengan karcis dari Dispenda, harga sama Rp. 1.500,- per penumpang. ketika dibilang kami sudah membeli karcis, si petugas dengan ramah bilang "Coba lah lihat pak, disini dari dispenda, ini yang resminya. Kalau sudah beli karcis ini tidak dipungut biaya parkir lagi kok...". Lah kalau yang disini resmi, yang disana apa dunk?, karena tidak mungkin lagi berbalik, lagipula untunglah cuma Rp. 1.500,- an kami segera saja membayar dan langsung menuju hotspot area. Duduk-duduk, kembang lapiak, main buaian liat-liat danau, yahh... libur kecil kaum kusam kata Iwan Fals.

Dalam perjalanan pulang, sekali lagi dihambat oleh ketidingers. Dan ketika akan keluar kejalan raya, ada seorang bapak-bapak yang meminta uang, ndak tau uang apa, non karcis, dengan galaknya. Rp. 2.000,- , kasih daaaah...., dan kami bertolak lagi menuju ombilin - simawang - terus ke Batusangkar.

Dalam perjalanan pulang kami berfikir, untungnya biaya yang dikeluarkan tidak terlalu besar. Namun para wisatawan manapun tentu tidak ingin merasa tertipu!, walau hanya seribu atau dua ribu rupiah, namun pelayanan Tiga Pintu di Tanjung mutiara harus segera diperbaiki. Kalau tidak jelas ini bisa memberikan dampak buruk kepada jumlah wisatawan, lokal dan nasional.